Senin, 28 Februari 2011

Wacana : Memahami Kembali Indonesia Kita Oleh : Dedy Djamaluddin Malik

Separatisme

Bangsa Indonesia lahir dari ikatan secara politik bukan atas dasar primordial, seperti adanya persamaan etnis atau kepercayaan. Kondisi geografis dan demografis Indonesia yang terdiri atas ratusan kelompok etnis dan ribuan pulau yang terpisah oleh laut, membawa dua kemungkinan, menjadi faktor positif yang memperkuat bangsa atau malah menjadi faktor negatif dengan menjadi sumber perpecahan bangsa. Sayangnya, selama ini, faktor negatif yang lebih sering muncul ke permukaan. Keberagaman sering menjadi pemicu konflik. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, gerakan pemberontakan atau separatisme telah dimulai sejak akhir tahun 1940-an atau masa-masa awal kemerdekaan. Jika ditarik benang merah, gelombang pemberontakan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama, pemberontakan yang digerakkan oleh motif ideologi (ideology- driven). Pemberontakan ideologydriven dipengaruhi kesamaan dalam hal ideologi, nilai-nilai hidup (values), dan cita-cita untuk membentuk struktur masyarakat berdasarkan ideologi yang diyakini. Ideologi menjadi faktor pengikat yang menjadi nyawa pemberontakan. Pemberontakan jenis ini dapat terjadi lintas negara tanpa mengenal batasan etnis atau kepercayaan. Pemberontakan komunis pada 1948 dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Pemberontakan model kedua dipengaruhi oleh nilai-nilai sosio-kultural yang kerap diikuti dengan motif kesejahteraan (wealth). Pemberontakan jenis ini biasanya didasari adanya kesamaan dalam hal etnis, budaya, nilai-nilai sosial, atau cita- cita untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Sering terjadi, pemberontakan jenis ini bersifat sebagai ”pemberontakan setengah hati”. PRRI/Permesta, misalnya, dapat dikategorikan sebagai pemberontakan setengah hati karena gerakan bersenjata tersebut tidak bermaksud meruntuhkan RI, melainkan ekspresi ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.

Perubahan

Masih berkembangnya separatisme di Indonesia adalah sebuah fakta. Jika dibiarkan berlarut-larut, persoalan separatisme akan menghabiskan potensi dan energi bangsa ini. Sementara bangsa-bangsa lain berlomba memajukan dirinya untuk menjadi bangsa kelas dunia, bangsa ini masih berkutat dengan persoalan pemberontakan dan separatisme yang tiada henti mendera sejak 1948. Terdapat beberapa hal penting terkait separatisme di Indonesia.

Pertama, gerakan separatisme tidak perlu terjadi jika bangsa ini mau belajar dari sejarah masa lalunya. Sungguh ironis jika dibuat perbandingan antara dekade 1950-an dan awal abad ke-21 ini, pusat (baca: Jakarta) masih menjadi sentra politik dan ekonomi nasional. Sekitar 60% perputaran uang nasional dan 80% perolehan pajak berasal dari kegiatan usaha yang ada di Jakarta. Dengan demikian, selama lebih dari lima puluh tahun, tidak ada perubahan berarti dalam hal kebijakan pembangunan di Indonesia. Di lain pihak, daerah menganggap pusat hanya peduli bagaimana menyedot kekayaan alam daerah tanpa peduli dengan kesejahteraan masyarakatnya. Akibatnya, terjadi ketimpangan sosial dan pembangunan yang begitu besar di negeri ini. Masyarakat sampai harus berbondongbondong ke Ibu Kota demi memperbaiki kehidupannya atau mendapatkan pekerjaan karena minimnya lapangan kerja di daerah.

Kedua, bangsa ini tidak boleh setback dengan kembali menggunakan pola-pola keamanan dan kekerasan seperti yang dipraktikkan pada masa lalu. Cara-cara kekerasan terbukti tidak mampu menanggulangi persoalan separatisme. Selain tidak sesuai dengan nilai-nilai humanisme dan hak asasi manusia yang berlaku universal saat ini, penggunaan pola represif dapat mengundang masuknya intervensi asing, baik secara politik maupun militer, atas nama perlindungan terhadap kemanusiaan (humanitarian intervention). Selain itu, penggunaan pola represif tidak sesuai jika dikaitkan dengan motif separatisme yang berkembang saat ini yang lebih didorong oleh motif sosio-kultural serta kesejahteraan. Oleh sebab itu, sebagai poin terakhir, yang terpenting saat ini adalah mengurangi social-economic gap antara pusat dan daerah, menghargai penguatan nilai-nilai budaya lokal, serta mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.

Sayangnya, sejak kebijakan desentralisasi digulirkan pada 2001, belum tampak munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang menjanjikan di daerah-daerah. Dibutuhkan suatu political will yang konsisten dari pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan ekonomi-politik yang berorientasi kesejahteraan dan keadilan sosial serta mengurangi ”politik tebar pesona” seperti yang sering dipraktikkan saat ini. Semua persoalan harus diselesaikan dalam bingkai kebangsaan. Bangsa ini tentu tidak menginginkan terjadinya balkanisasi sebagaimana yang terjadi di bekas Republik Yugoslavia yang kini terpecah menjadi beberapa negara berdasarkan garis etnisitas. Konstitusi memberikan jaminan secara tegas bahwa separatisme yang mengarah kepada perpecahan bangsa tidak bisa dibiarkan. Namun, sesuai dengan bingkai kebangsaan, konstitusi juga melindungi warga negaranya, termasuk terhadap pihak yang dianggap memberontak, dari ancaman kekerasan ataupun diskriminasi. Bagaimanapun, mereka masih sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Tanpa konsistensi pemerintah dan adanya kesadaran untuk bersatu, bangsa ini tampaknya masih harus berkutat lebih lama lagi dengan persoalan separatisme dan patut khawatir akan eksistensinya sebagai suatu bangsa.

By: David Bernato
Referensi :http://iqbal1.wordpress.com/2010/10/01/wacana-memahami-kembali-indonesia-kita/